Kontribusi perempuan di bidang pendidikan tidak tercerminkan di level pimpinan

Siapakah yang mengelola sekolah? Perempuan.

Peran penting perempuan sebagai guru-guru di sekolah, terutama di Indonesia, tidak dapat dipungkiri mengingat 70 persen dari 1,433,794 guru sekolah dasar di negara ini adalah perempuan.

Bagi Yunita Maiza, 37, seorang pengajar siswa-siswa kelas satu SD di Tanjung Uban, provinsi Kepulauan Riau, menjadi seorang guru di sekolah dasar bukan hanya perihal mengajarkan murid-murid bagaimana cara berhitung dan membaca.

Maiza mengatakan dia juga harus menemani murid-murid setiap kali mereka harus pergi ke toilet, menghibur mereka saat mereka menangis, dan juga memastikan mereka bersenang-senang saat belajar di kelas.

Kenyataannya, mengajar murid-murid sekolah dasar membutuhkan banyak kesabaran dan kreativitas, ujar Maiza, mengingat anak-anak lebih mudah bosan dan guru-guru harus mengeluarkan ide untuk menarik perhatian mereka. Bahkan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler dan acara-acara sekolah lainnya juga kebanyakan dijalankan oleh guru-guru perempuan.

“Guru-guru perempuan lebih aktif dalam membangun ikatan dengan murid-murid mereka. Saya rasa sifat keibuan kami membuat kami lebih merasa terikat dengan mereka,” imbuhnya seperti dilansir The Jakarta Post.

“Hal ini sangat penting dalam lingkungan belajar dini, dan ini membuat mereka lebih nyaman dengan kami dibandingkan guru laki-laki yang menurut saya lebih bersifat praktis.”

Kendati hal ini seharusnya cukup menjadi alasan kenapa perempuan seharusnya menjalankan sistem pendidikan, pada kenyataannya cukup sulit mencari sekolah yang dipimpin oleh perempuan.

Walaupun perempuan lebih aktif dalam berpartisipasi dan jumlah perempuan yang menjadi pengajar di sekolah-sekolah lebih besar dibandingkan laki-laki, hanya sepertiga dari sekolah dasar di Indonesia yang dipimpin kepala sekolah perempuan.

“Data kami memperlihatkan bahwa semakin senior posisinya, semakin tinggi kemungkinan diisi oleh laki-laki,” ujar Dewi Susanti, spesialis senior bidang pengembangan sosial dari World Bank Indonesia.

“Kesejahteraan yang lebih besar terkait dengan posisi yang lebih tinggi.”

Berdasarkan survei WBI yang dilangsungkan di 270 sekolah dasar di daerah pedesaan dan terpencil antara 2016 dan 2017, proporsi pengajar perempuan lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional yakni 48 persen, yang barangkali disebabkan oleh kondisi geografis yang sulit dijangkau.

Namun, bahkan dalam situasi tersebut, studi menunjukkan pengajar perempuan lebih jarang absen dibandingkan pengajar laki-laki.

“Analisa kami mengindikasikan bahwa absennya guru-guru berkorelasi positif dengan status pegawai negeri mereka, dengan guru laki-laki, dan dengan rendahnya pengawasan dari kepala sekolah. Dengan kata lain, guru-guru kontrak dan guru-guru perempuan lebih sering mengajar,” peneliti-peneliti WBI memaparkan dalam catatan studi mereka awal tahun ini.

Absennya guru merupakan persoalan serius, tutur para ahli, sebab hal ini secara langsung berpengaruh terhadap pendidikan murid di sekolah. Sebagai fase pertama dari pendidikan formal bagi banyak orang, sekolah dasar sangatlah penting bagi perkembangan anak-anak.

Kehadiran pengajar perempuan di pedesaan dan daerah terpencil menjadi lebih penting, tambah para peneliti.

Peneliti-peneliti dari Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI) menambahkan minimnya kepala sekolah perempuan di sekolah-sekolah dasar tidak hanya mengindikasikan ketidaksetaraan gender, tetapi juga bahwa banyak sekolah tidak memperoleh keuntungan dari “efektivitas kepemimpinan kepala sekolah perempuan dan lingkungan belajar yang lebih baik yang cenderung dihasilkan kepala sekolah perempuan.”

Program INOVASI merupakan hasil dari kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Australia, yang bertujuan untuk meningkatkan hasil-hasil pembelajaran murid-murid di sekolah.

Pada 2018, INOVASI mengadakan survei di 16 kecamatan dan satu kotamadya di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Utara, dan Jawa Timur.

Survei tersebut menemukan tidak hanya menemukan bahwa pengajar perempuan mengajar lebih baik di kelas, tetapi juga menemukan bahwa kepala sekolah perempuan juga mampu meningkatkan perkembangan sekolah, mengingat mereka cenderung lebih baik dalam menciptakan lingkungan belajar yang mendukung.

Senza Arsendy, spesialis bidang pengawasan, evaluasi, dan penelitian dari INOVASI, mengatakan survei tersebut juga menunjukkan bahwa kepala sekolah perempuan cenderung lebih mampu memberikan instruksi yang berkualitas sebagai pemimpin.

“Membatasi peran perempuan [di level pimpinan sekolah] akan mencegah murid-murid untuk memperoleh manfaat dari kualitas-kualitas tersebut,” ujar Senza pada Sabtu.

Murid-murid perempuan juga dapat melihat kepala sekolah perempuan sebagai panutan yang mana juga penting untuk cita-cita mereka. “[Ketika perempuan tidak menjadi kepala sekolah] maka ini akan memperkuat stereotip bahwa memimpin sebuah lembaga adalah pekerjaan laki-laki,” tambah Senza.

Susanti, 37, tidak pernah melihat seorang perempuan mampu naik pangkat hingga menjadi kepala sekolah di sekolah tinggi swasta tempat dirinya bekerja di Bima, Nusa Tenggara Barat, sekalipun perempuan-perempuan yang bekerja di sana lebih aktif berpartisipasi dalam semua kegiatan dan pengembangan pribadi murid-murid.

“Saya sudah mengajar selama 12 tahun di kota ini, dan selama itu saya tidak pernah merasakan dipimpin oleh kepala sekolah perempuan,” tuturnya.

Data dari World Bank pada 2010 memperlihatkan dari semua level pendidikan di Indonesia, hanya taman kanak-kanak yang sebagian besar dipimpin kepala sekolah perempuan, di mana 60 hingga 80 persen dari tingkatan sekolah lainnya dipimpin kepala sekolah laki-laki.

“Kita harus memusatkan perhatian kepada hal-hal yang mencegah guru-guru perempuan untuk menjadi kepala sekolah,” ujar Senza dari INOVASI.

Dia pun mendorong pemerintah untuk lebih memahami bagaimana perbedaan gender membentuk performa sekolah, terutama dalam hal mengisi jabatan pimpinan.

Dewi dari World Bank Indonesia menghimbau pemerintah untuk mendorong dan menyediakan lebih banyak peluang bagi perempuan untuk menjadi pegawai negeri dan kepala sekolah melalui program-program bimbingan dan kepemimpinan. Kebijakan berupa tindakan tegas juga bisa dipertimbangkan.

“Guru-guru perempuan harus mengatasi lebih banyak hambatan di dalam mencapai posisi-posisi pimpinan karena adanya kewajiban rumah tangga atau pertimbangan keselamatan selama pelatihan di tempat-tempat asing,” ujarnya.

“Ketika komunitas yang lebih luas menjadi lebih paham mengenai hambatan-hambatan ini, mereka dapat menyediakan dukungan tambahan yang dibutuhkan [guru perempuan].”

(Sumber Artikel dan diterjemahkan dari The Jakarta Post : https://www.thejakartapost.com/news/2020/05/14/womens-contributions-to-education-not-reflected-in-leadership-roles.html)

Comments

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Open chat
Ada yang bisa kami bantu?