Ujian Nasional diganti, masih butuh Bimbel?
Ujian Nasional atau sering disingkat UN resmi berganti format di era Bapak Menteri Pendidikan Nadiem Anwar Makarim. Banyak pertanyaan tertuju pada judul di atas, yaitu apakah Lembaga Bimbingan Belajar (Bimbel) masih dibutuhkan di Indonesia? jika dikupas lebih dalam lagi pertanyaannya akan semakin spesifik yaitu apakah Bimbel konvensional akan terkubur dengan maraknya Bimbel Online dewasa ini? Sebelum kita mengupas tuntas hal ini, maka kita pelajari bersama terlebih dahulu latar belakang dari timbulnya pertanyaan ini. Mungkin banyak teman-teman yang telah membaca ataupun mendengar langsung hal ini, akan tetapi perlu penulis jabarkan ulang untuk membahas judul tulisan kita ini.
Semua diawali dari Pro dan Kontra yang telah berlalu dimana pemerintah melalui menterinya dengan slogan Merdeka Belajar telah mengeluarkan Permendikbud Nomor 43 Tahun 2019. Pendidikan Indonesia yang semula hanya berputar ditempat mulai menghadapi babak baru dimana ada 3 syarat kelulusan sekolah yang tertuang dalam bagian keempat pasal enam, yaitu :
- Menyelesaikan seluruh program pembelajaran.
- Memperoleh nilai sikap/perilaku minima baik.
- Mengikuti Ujian yang diselenggarakan oleh Satuan Pendidikan.
Hal penting yang banyak disoroti oleh orang banyak adalah bentuk UN dan USBN (Ujian Sekolah Berstandar Nasional), dimana :
- Bentuk Ujian yang diselenggarakan oleh sekolah dapat berupa portofolio;
- Penugasan
- Tes tertulis
- Bentuk kegiatan lain yang diterapkan Satuan Pendidikan sesuai dengan kompetensi yang diukur berdasarkan Standar Nasional Pendidikan.
- Bentuk ujian ini diselenggarakan oleh sekolah pada semester ganjil dan atau semester genap pada akhir jenjang dengan mempertimbangkan capaian standar kompetensi kelulusannya.
Bagaimana dengan pelaksanaan Ujian Nasional (UN)? dari yang penulis telusuri Pelaksanaan UN berdasarkan Permendikbud secara garis besar adalah sebagai berikut :
- Diutamakan melalui Ujian Nasional berbasis Komputer (UNBK), jika UNBK tidak bisa dilaksanakan karena kondisi tertentu di sebuah sekolah maka UN dilaksanakan berbasis kertas dan pensil (UNKP).
- UN merupakan penilaian hasil belajar oleh Pemerintah Pusat dengan tujuan menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu.
- UN untuk peserta didik Sekolah Menengah Kejuruan atau Madrasah Aliyah kejuruan termasuk ujian kompetensi keahlian.
- Peserta didik pada akhir jenjang sekolah menengah pertama luar biasa (SMP-LB) dan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMA-LB) tidak wajib mengikuti UN.
- Biaya penyelenggaraan dan pelaksanaan UN menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan sekolah dan tidak ada pungutan biaya kepada peserta didik.
Bapak Menteri Nadiem juga menjelaskan aspek yang berganti pada UN nantinya yaitu Aspek Literasi dan Numerisasi dimana Literasi adalah kemampuan menganalisa suatu bacaan, kemampuan mengerti dan memahami konsep dibalik tulisan itu. Adapun aspek numerisasi adalah kemampuan menganalisa angka-angka. Jadi disini dimaksudkan oleh Bapak Menteri bahwa penilaian bagi murid bukan berdasarkan mata pelajaran lagi. Hal ini juga ditambahkan dengan survei karakter yang ditujukan untuk mengukur dan mengetahui karakter pribadi dan wawasan dan pemahaman kebangsaan murid. Bahkan Bapak Menteri Nadiem Makarim juga mengatakan bahwa survei ini akan dibuat dengan cara yang akan sangat sulit dipermainkan. Hal yang akan ditanyakan bukan teorinya seperti gotong royong, bhineka tunggal ika dan lainnya tetapi esensinya. Penjabaran ini jelas sebuah kabar baik karena berdasarkan survei memang UN yang akan berakhir formatnya di tahun 2020 hanya menilai aspek konigtif dan ditambah lagi dengan materinya yang terlalu padat sehingga cenderung membuat stress para murid. Maka secara gamblang dilahirkanlah Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter serta Merderka Belajar.
Dari penjabaran diatas mari kita kaji kembali kebutuhan Bimbingan Belajar di Indonesia, apakah ada yang berubah? masih dibutuhkan? atau sudah tidak dibutuhkan lagi? Apakah Aspek Literasi dan Numerisasi, serta Merdeka Belajar ini serta merta tidak membutuhkan Bimbel lagi? Bukankah banyak orang-orang bahkan yang berlabel pakar pendidikan mengatakan bahwa maraknya Bimbel dikarenakan sistem pendidikan Indonesia tidak baik sehingga membuat sekolah tidak bisa menganyomi muridnya, sistem yang membuat biaya pendidikan membengkak untuk ikut bimbel. Bukan hanya Bimbel sebenarnya, tapi banyak juga orang tua yang lebih mempercayakan anaknya pada sekolah Non Formal seperti Home Schooling . Bahkan ada sekolah yang mewajibkan anak-anak didiknya ikut Bimbel dan ada juga sekolah yang menyelenggarakan sendiri Bimbel di sekolahnya dan melarang murid untuk Bimbel di lembaga sekitar sekolahnya. Tentunya sebagai salah satu dari insan yang menyelenggarakan Bimbel dan pengamat pendidikan di Indonesia penulis ingin meluruskan kenapa banyak Lembaga Bimbingan Belajar menjamur di Indonesia. Setelah melakukan survei ke sesama penyelenggara Bimbel dan Sekolah Non Formal lainnya alasan bisnis yang menguntungkan, seperti mengeruk keuntungan hanyalah bagian kecil saja dari keseluruhan latar belakang seseorang memutuskan bergerak di bidang pendidikan non formal. Dari keseluruhan hasil survei secara kualitatif penulis bisa menyimpulkan sebagai berikut :
Maraknya Bimbel di Indonesia pada hakikatnya adalah sikap sebagian masyarakat baik personal maupun kelompok dalam memandang, menjawab , menghadapi tantangan, menggapai peluang yang diiringi kepanikan dari dinamika pendidikan dan ekonomi di Indonesia sendiri.
Mari kita tinjau satu per-satu dari pernyataan dan kesimpulan penulis diatas :
- Bimbel tumbuh atas dasar sikap sebagian masyarakat baik personal maupun kelompok dalam memandang pentingnya pendidikan di Indonesia.
Boleh teman-teman cek ke semua lembaga bimbel sekitar rumah atau sekolah di wilayahnya, semua insan yang bergerak di bidang Bimbel jelas mempunyai kemiripan dalam visi dan misinya baik dijabarkan ataupun dari lisannya, yaitu ikut mencerdaskan kehidupan Bangsa. Baik itu adalah personal (guru privat), bimbel rumahan (bimbel yang ada disekitar perumahan) sampai pada Bimbel besar dengan modal yang besar pula. Adapun masalah keuntungan bisnis adalah dampak dari kegiatannya membuka Bimbel itu sendiri. Bukankah mereka butuh biaya untuk menggaji guru, renovasi ruangan dan tempat belajar yang layak serta nyaman, bagi yang menyewa tempat belajar maka mereka juga harus menyisihkan keuntungannya untuk perpanjangan sewa tempat, begitu juga dengan kelengkapan ATK nya. Ketika itu terpenuhi barulah mereka berpikir keuntungan. Bahkan banyak lembaga Bimbel rumahan yang bisa menggaji gurunya melebihi guru disekolah, atau banyak juga guru yang menjadikan lembaga Bimbel sebagai tempat untuk menghasilkan uang tambahan dan Lembaga Bimbelnya pun akan dengan senang hati menerima bila kualifikasi sang guru sesuai dengan Bimbelnya. Jika kita membuka mata lebar-lebar di sekitar wilayah kita banyak juga Bimbel yang pailit seperti tidak bisa membayar perpanjangan sewa tempat, kekurangan murid dan sebagainya. Tapi hal ini tidak menyurutkan semangat insan Bimbel atau pemain baru untuk membuka Bimbel bercabang-cabang. Perlu diingat bahwa kebanyakan Bimbel tidak dibantu oleh Pemerintah, mereka berusaha sendiri, berjuang sendiri mengumpulkan peserta didik dan setelah peserta didiknya banyak baru kebanyakan dari mereka diberi izin oleh pemerintah. Bahkan untuk Bimbel rumahan hampir tidak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah. Seorang Guru Privat dengan semangat membara memberikan pengajaran ke rumah-rumah, banyak orang hanya memandang dia mendapatkan uang banyak dari mengajar, tetap sedikit orang yang berpikir bahwa dia tidak pernah menyusahkan pemerintah dalam membantu pendidikan di Indonesia. Status guru yang mereka dapatkan hanya dari murid mereka dan oang tuanya. Intinya teman-teman yang berprofesi sebagai guru privat ini berdikari sendiri dengan tujuan yang mulia bukan? ketika mereka berkelompok dengan modal kecil maka mereka akan membuka Bimbel skala Rumahan layaknya home industri, jika mereka berkelompok dengan modal besar maka mereka membuka Bimbel besar. Dengan potensi bisnis yang ternyata menggiurkan maka banyak investor besar tertarik di dunia pendidikan dan merangkul mereka. Banyak Investor dengan modal besar membuka Bimbel tapi tidak sukses karena tidak merangkul orang-orang seperti mereka. Hal ini lah yang membuat banyak dari masyarakat ada Bimbel yang tidak berkualitas. Padahal ini lah penyebab utamanya disamping faktor lain. Apapun kurikulumnya mereka akan selalu mecari ide kreatif untuk mengembangkan pendidikan di Indonesia. Mereka terjun ke dunia pendidikan karena pandangan mereka tentang pendidikan di Indonesia, terlepas itu dalam sisi idealis, bisnis, komersil dan sebagainya.
- Bimbel tumbuh atas dasar sikap sebagian masyarakat baik personal maupun kelompok dalam menjawab tantangan pendidikan di Indonesia.
Mari kita baca lagi tulisan sebelumnya atau silahkan buka di browser yang ada, berapakali Indonesia telah berganti kurikulum? dari semua rezim pergantian kurikulum itu terbukti bahwa Bimbel tetap ada dan selalu menjawab tantangan kurkulum dari pemerintah, kenapa bisa? Mereka terlepas dari kekakuan birokrasi dalam mengajar, seperti yang dicetuskan oleh Bapak Nadiem Makarim mengenai Merdeka Belajar. Suka tidak suka mereka adalah insan pertama di Indonesia yang telah melakukan itu, keluar dari zona nyaman sebagai seorang guru yang mengikuti kurikulum. Kalau ada istilah militan dari seorang guru, maka guru-guru lembaga non formal dan informal ini lah orangnya. Sedikit meminta banyak memberi dan cendrung dianaktirikan.
- Bimbel tumbuh atas dasar sikap sebagian masyarakat baik personal maupun kelompok dalam menggapai peluang yang diiringi kepanikan.
Harus kita akui dengan lapang dada kalau tingkat ekonomi di Indonesia masih dalam taraf berkembang. Pembangunan infrastruktur sempat tersendat lama di era pemerintahan sebelumnya. Bahkan pernah terjadi krisis moneter. Apapun kurikulum yang pernah terjadi di Indonesia dari dahulu kala masalahnya masih tetap sama yaitu Pendidikan tetap tidak merata. Dari hal ini jelas memanfaatkan peluang usaha dari Bisnis Bimbel bukan merupakan bisnis yang jahat, jika ternyata murid-murid membutuhkan bimbel bukan berarti penyelenggara bimbel adalah orang yang bertanduk penuh dengan niat mengeruk keuntungan dari kepanikan orang tua, justru mereka dewasa ini ikut membantu orang tua yang semakin tidak mengerti dengan arah pembelajaran dari sekolah. Adapun alasan orang tua mengikutkan Bimbel di era sekarang ini diluar UN dan materi yang padat bisa dirangkum menjadi :
- Kesibukan orang tua untuk memenuhi kebutuhan ekonomi di jaman persaingan yang ketat ini. Sehingga membutuhkan konsultan atau pendamping di luar sekolah formal untuk anaknya belajar secara rutin dan teratur.
- Orang tua merasa materi sekarang meningkat tingkat kesulitannya, dari hasil pendapat yang penulis tampung banyak pelajaran yang didapatkan orang tua sewaktu SMA sekarang telah diajarkan di bangku SMP, sehingga sekali lagi Orang Tua membutuhkan konsultan atau pendamping belajar anaknya, karena waktu di sekolah terbatas untuk mengajari anaknya yang masih tidak mengerti.
- Life skill dan pergantian suasana dalam belajar yang dirasakan kurang didapatkan di sekolah formal.
- Orang tua yang ingin tahu beres, artinya mereka bayar maka anak pintar. Hal ini tidak bisa di ingkari karena pada kenyataan di level ekonomi menengah ke atas masih banyak orang tua yang hanya menilai sebuah Bimbel sebagai toko.
Mereka yang bergerak dalam Pendidikan Non Formal melihat peluang yang membawa berkah. Bahkan menurut penulis pemerintah harus merangsang banyak Investor yang berinvestasi di Pendidikan Non Formal karena untuk mengembangkan SDM mereka sudah terbukti ikut membantu pemerintah dengan hampir tidak pernah terdengar mengeluh. Usaha Bimbel telah membuktikan bahwa mereka bisa bertahan dengan tantangan pendidikan. Mulai dari keinginan orang tua yang ingin anaknya mendapatkan rangking (ketika masih ada sistem rangking), lulus UN ataupun mungkin nanti dengan Aspek Literasi dan Numerasi, apakah bisa Bimbel bertahan? Apakah Bimbel dibutuhkan? biar waktu yang menjawabnya. Bimbel Online jelas adalah jawaban dari tantangan yang telah di jawab oleh pegiat Bimbel di era saat ini. Tidak menutup kemungkinan mereka akan berkembang dengan ide yang lebih kreatif lagi kedepannya.
Interaksi antara guru dan murid tetap tidak tergantikan oleh aplikasi, para pegiat Les Privat dan Bimbel Konvensional pun telah siap membuka kelas online, mereka tidak seperti Ojek Online dan Ojek Pangkalan ataupun taksi online dengan konvensional yang sampai berkelahi dan demonstrasi berebutan lahan. Mereka adalah pegiat Bimbel dan Sekolah Non Formal dan mereka adalah seorang guru sehingga tidak layak dikerdilkan.
Yang pasti Bimbel tidak bisa dibunuh secara hukum karena menurut UU No 20/2003 tentang SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL ditegaskan bahwa sistem pendidikan nasional terdiri dari 3 (tiga) jalur pendidikan; yaitu pendidikan FORMAL, NONFORMAL dan INFORMAL. Lembaga Bimbingan Belajar masuk dalam jalur Pendidikan Non Formal (PNF) sedangkan pembinaannya masuk pada tanggung jawab Ditjen Diklusepora dalam Direktorat Pembinaan Kursus dan Kelembagaan. Sedangkan aturan lebih rinci untuk pembinaan terhadap kursus ini diatur dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kepmendikbud) Nomor 0151/U/1977 tentang Pokok-pokok Pelaksanaan Pembinaan Program Pendidikan Luar Sekolah yang diselenggarakan masyarakat.
Mungkin teman-teman ada yang ingin memberikan masukan atau bahkan mengkritik tulisan ini, silahkan langsung ke kolom komentar, biarpun tulisan ini mungkin tidak dibaca oleh Bapak Nadiem Makarim atau staff nya, setidaknya penulis telah menyatakan bahwa Sekolah Non Formal telah lama mengiringi Pendidikan di Indonesia tanpa banyak berkeluh kesah, sudah selayaknya mereka disuburkan oleh pemerintah jika pemerintah enggan memberikan mereka piagam penghargaan. Apabila ada tulisan yang salah atau menyinggung perasaan dalam tulisan ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Salam sukses selalu untuk semua insan pendidikan di Indonesia.
Comments